Sesak.
June 14, 2021
Pernah di satu Minggu pagi kamu duduk bersila di sudut kamarku, berusaha berbicara pada Tuhanmu yang katanya maha pengasih. Matahari sedang terik-teriknya pagi itu, tapi entah kenapa kamu seolah tidak kepanasan. Padahal ponselmu sampai rusak karena terlampau panas. Pagi itu untuk pertama kalinya aku lihat tatapanmu sekosong itu. Pasti sesuatu sedang mengganggumu, karena sesuatu juga menggangguku. Tapi yang aku tau sejak hari itu, kamu hanya sedang berusaha mencari jalan untuk lari. Sering aku bicara juga pada Tuhanku, tidak pernah bosan aku meminta agar hatiku dikuatkan. Dulu, aku selalu ingin menjadi perempuan yang kuat untuk kamu. Aku ingin menjadi otakmu ketika kamu tidak bisa berfikir, aku ingin menjadi tanganmu ketika kamu tidak bisa memberi, aku ingin menjadi topanganmu ketika kamu tidak mampu berdiri. Aku pernah menjadi perempuan yang rela melakukan apa saja asalkan kamu bisa tertawa satu kali lagi.
Hingga satu hari, aku berbicara pada Tuhan lagi. Tapi hari itu aku meminta untuk dijauhkan saja dari kamu sebelum segala rasaku memudar dan berubah menjadi luka. Tapi meski bagaimanapun, aku memang sudah terluka. Terlanjur. Aku sudah tidak tau lagi di mana nuranimu sebagai manusia. Aku tidak tau lagi kata-katamu yang mana yang bisa dipercaya. Bahkan aku tidak peduli berapa kalipun kamu bersujud di kakiku sambil berpura-pura menyesal dan berjanji tidak kemana-mana. Aku benar-benar muak, walaupun mungkin bisa saja kali itu yang kamu ucap memang nyata. Pada Tuhan hari itu aku meminta kebahagiaanku sendiri, meski aku tau kisah kita masih belum sampai pada titiknya.
Di satu pagi yang lain, aku terbangun, dadaku sesak sekali. Rasanya setiap kali aku melihat notifikasi bertuliskan namamu atau hanya sekedar melihat fotomu yang tergantung di dinding kamarku, aku selalu ingin memaki. Aku ingin menikammu dengan garpu makanku seperti psikopat yang ingin menyakiti korbannya. Katanya, semakin tumpul senjatamu, akan semakin terasa sakit bagi musuhmu. Aku ingin kamu mati. Tapi aku lebih ingin membunuhmu dengan caraku sendiri. Karena kamu, aku harus melewati hari-hariku sendirian hanya karena ketidakbergunaanmu sebagai laki-laki. Kamu yang menjadikanku pembenci, maka jangan heran jika suatu hari nanti aku datang untuk menyayat lehermu. Kamu tidak akan tau bagaimana setiap malam jantungku berdetak lebih kencang tiap kali aku membayangkan hari kematianmu datang. Karena kamu yang seharusnya mati. Setiap malam aku bertanya-tanya pada Tuhan bagaimana bisa Dia menciptakan manusia tanpa hati nurani. Bagaimana bisa seorang laki-laki dewasa bersembunyi di balik obat-obatan yang diminumnya setiap hari? Lengkapkah kamu? Tenangkah tidurmu?
Sesak.
Aku benar-benar ingin muntah.
June 14, 2021.
0 comments